Minggu, 01 Desember 2013

Logis Islamis

@Göttingen, Germany
Originally shared on KALAM - Göttingen (klik disini)

Dalam rangka: Inisiasi Gerakan LOG-IS bagimu INDONESIA
Tanggal: 28 Muharram 1435H (1 Desember 2013)

Bismillah...
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk[67]: 3)

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya ALLAH akan memberi lapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya ALLAH akan mengangkat (derajat) orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan ALLAH Maha teliti apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadilah[58]: 11)

Makna keseimbangan yang dimaksud, adalah sebuah makna sempurna dan holistik; yang menggabungkan semua parameter untuk menggambarkan keseimbangan tersebut. Makna keseimbangan yang dimaksud, adalah suapan atas rasa lapar akal dalam menalar; sehingga terkenyangkan rasa itu pada akhirnya. Karena akal akan terus mencari jawaban logis dan terstruktur, serta akan terus menelusuri; seperti sang air yang terus mencari dataran yang lebih rendah dalam mengalirkan diri. Karena pula, rangkaian cerita yang tersuguhkan pada tatanan jagat nan sempurna ini – pun – haruslah logis, terstruktur dan ternalarkan.

Lalu, apakah tidak logis pemahaman ajaran atheis dalam menyuguhkan sebuah fakta? Atheis, sebuah ajaran yang berkembang dengan sangat signifikan di benua biru Eropa. Mereka – yang berpahamkan atheis – sangatlah logis dalam menjelaskan dan menafsirkan sesuatu; bahkan akal menjadi dewa yang berada di ujung pemahaman mereka. Itu salahnya, pemahaman atheis telah melupakan satu hal nan terpenting, bahwasanya kelogisan dan nalar manusia ada batasnya. Ya ada batasnya. Mengapa? Ya, karena seperti itulah hakikatnya. Sebuah hakikat, dimana manusia sebagai makhluk yang terciptakan haruslah memiliki batas; sehingga tidak bisa dan tidak akan pernah bisa me-replace keberadaan Khaliknya. Seperti seorang pengrajin kayu pembuat meja, yang tidak akan pernah sama dan tergantikan oleh meja itu sendiri. Karena, seperti itulah hakikat – logis – nya.

ALLAH menisbatkan bahwa nalar manusia harus ada batasnya pada sebuah ujung usaha telusurnya, sejauh apa pun ujung terlusur akal tersebut, tetaplah – pasti – ada batasnya; agar rasa ke-AKU-an yang ALLAH miliki, menjadi logis pula. Ketidaklogisan akan sesuatu, ada dikarenakan nalar dan logika manusia tak mampu lagi memetakan parameter pembentuknya; bukan dikarenakan sesuatu tersebut tidak logis atau tidak seimbang dan tak ternalar. Ketidaklogisan akan sesuatu itu ada karena ada batasan yang nyata, yang memungkinkan sesuatu tersebut memang tidak terpetakan parameternya oleh akal, minimal ketika di saat akal tersebut digunakan untuk menalarnya.

Seperti halnya seorang anak kecil yang terkagum-kagum dan tidak mampu untuk menstrukturceritakan kembali mengenai balon terbang; atau ketika seorang anak kecil tercengangkan karena melihat game di komputer yang mampu berinteraksi aktif dengannya. Parameter untuk menjelaskan balon terbang dan game komputer tersebut tidak mampu dipetakan atau distrukturceritakan kembali oleh akal si anak kecil, sehingga balon terbang dan game komputer menjadi hal yang – benar-benar sangat – tidak ternalarkan oleh si anak kecil. Berbeda sekali dengan ketika si anak kecil tersebut telah menjadi dewasa, atau – apalagi – di waktu ia telah menjadi ahli fisika atau programmer komputer yang ulung; jangankan balon terbang dan game komputer, puluhan fenomena sesawat ulang-alik luar angkasa dan kerumitan struktur robot berbasis program komputer tercanggih pun – bahkan – dapat ia buat dalam ‘sekejap mata’. Begitu juga dengan fenomena syurga, neraka, hari akhir, azab kubur; itu semua ada, terstruktur, seimbang bahkan begitu mudah dipetakan parameternya; namun bukan saatnya manusia mampu, ada waktu yang telah ditentukan agar akal dan nalar manusia terpuaskan rasa laparnya.

Maka, imanlah yang menjadi sebuah rukun yang harus menjawabnya; maka, imanlah yang mengambil peran untuk meyakinkannya, ketika nalar dan akal sudah secara maksimal tidak mampu memetakannya lagi dengan sangat logis semua parameter pembentuk sesuatu tersebut. Rukun iman itu menjadi pembeda nyata antara orang beriman dan atheis. Orang beriman, menyuapi hati dan akal dengan keimanan ketika akal sudah tidak mampu memetakannya; sedangkan orang atheis menampikan semua (bahkan menampikan sang pencipta), ketika akal tidak mampu menalarnya. Seperti halnya seorang atheis menjadikan fenomena big bang sebagai muara asal muasal semua kehidupan, dan menampikkan ALLAH di belakang layar permulaannya. Karena – memang – bagi orang atheis, tuhan adalah akal itu sendiri, akal adalah tuhan itu sendiri.

Maka dari itu, orang beriman dan berakal atau berilmu pengetahuan akan ALLAH angkat kedudukannya beberapa derajat. Ini pun menjadi sangat logis, selogis seorang ahli fisika dan programmer komputer ulung yang sudah tidak bermain di ranah nalar akan balon terbang atau game komputer lagi; namun telah beranjak untuk memahami hal-hal yang lebih besar dan lebih dekat dengan kesempurnaan pemahaman atas jagat raya beserta isinya ini; yang tentunya akan mengantarkan dia lebih dekat dan lebih memahami hakikat keberadaan ALLAH. Sehingga – poin yang harus ditekankan disini adalah – bahwa menggunakan akal secara optimal untuk memahami sesuatu menjadi sangatlah penting pada akhirnya.

Pola pikir ini pun yang harus mampu diterapkan pada pola tindak manusia. Sebuah pola tindak yang berdasarkan logika akal manusia, namun – tetap – dilandasi oleh islam sebagai pola pandang sempurna yang telah tersampaikan untuk manusia. Dimana penggunaan akal – seoptimal mungkin – merepresentasikan usaha manusia; sedangkan islam dijadikan peta dan koridor, agar akal termuarakan pada akhir alir yang benar, agar sepak terjang akal tidak liar dan dapat dikroscek oleh kebenaran hakiki yang bernama islam. Dua padanan kata ‘akal’ dan ‘islam’ yang tercermin menjadikan ‘logis islamis’ bermakna sangat ampuh, ampuh untuk menjadi dasar pola tindak manusia, ampuh menjadi cermin diri gerak gerik manusia; agar manusia menjadi manusia seutuhnya – yang berusaha untuk – sempurna di hadapan ALLAH. Karena bagaimana pun, akal adalah titipan ALLAH; begitu juga islam sebagai sebuah kesempurnaan ilmu dan dasar aturan – pun – telah tersampaikan dengan sempurna. Maka, ‘logis islamis’lah...

Alhamdulillah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar