Created by Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen, Germany
Originally shared on KALAM - Göttingen (klik disini)
Dalam rangka: Inisiasi Gerakan LOG-IS bagimu INDONESIA
Tanggal: 28 Muharram 1435H (1 Desember 2013)
Originally shared on KALAM - Göttingen (klik disini)
Dalam rangka: Inisiasi Gerakan LOG-IS bagimu INDONESIA
Tanggal: 28 Muharram 1435H (1 Desember 2013)
Bismillah...
“Yang menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan
Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu
yang cacat?” (QS. Al-Mulk[67]: 3)
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka
lapangkanlah, niscaya ALLAH akan memberi lapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya ALLAH akan mengangkat (derajat)
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. Dan ALLAH Maha teliti apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadilah[58]:
11)
Makna keseimbangan yang dimaksud,
adalah sebuah makna sempurna dan holistik; yang menggabungkan semua parameter
untuk menggambarkan keseimbangan tersebut. Makna keseimbangan yang dimaksud,
adalah suapan atas rasa lapar akal dalam menalar; sehingga terkenyangkan rasa itu
pada akhirnya. Karena akal akan terus mencari jawaban logis dan terstruktur, serta
akan terus menelusuri; seperti sang air yang terus mencari dataran yang lebih
rendah dalam mengalirkan diri. Karena pula, rangkaian cerita yang tersuguhkan
pada tatanan jagat nan sempurna ini – pun – haruslah logis, terstruktur dan
ternalarkan.
Lalu, apakah tidak logis
pemahaman ajaran atheis dalam menyuguhkan sebuah fakta? Atheis, sebuah ajaran
yang berkembang dengan sangat signifikan di benua biru Eropa. Mereka – yang
berpahamkan atheis – sangatlah logis dalam menjelaskan dan menafsirkan sesuatu;
bahkan akal menjadi dewa yang berada di ujung pemahaman mereka. Itu salahnya,
pemahaman atheis telah melupakan satu hal nan terpenting, bahwasanya kelogisan
dan nalar manusia ada batasnya. Ya ada batasnya. Mengapa? Ya, karena seperti
itulah hakikatnya. Sebuah hakikat, dimana manusia sebagai makhluk yang
terciptakan haruslah memiliki batas; sehingga tidak bisa dan tidak akan pernah
bisa me-replace keberadaan Khaliknya.
Seperti seorang pengrajin kayu pembuat meja, yang tidak akan pernah sama dan
tergantikan oleh meja itu sendiri. Karena, seperti itulah hakikat – logis – nya.
ALLAH menisbatkan bahwa nalar
manusia harus ada batasnya pada sebuah ujung usaha telusurnya, sejauh apa
pun ujung terlusur akal tersebut, tetaplah – pasti – ada batasnya; agar rasa
ke-AKU-an yang ALLAH miliki, menjadi logis pula. Ketidaklogisan akan sesuatu,
ada dikarenakan nalar dan logika manusia tak mampu lagi memetakan parameter
pembentuknya; bukan dikarenakan sesuatu tersebut tidak logis atau tidak
seimbang dan tak ternalar. Ketidaklogisan akan sesuatu itu ada karena ada
batasan yang nyata, yang memungkinkan sesuatu tersebut memang tidak terpetakan
parameternya oleh akal, minimal ketika di saat akal tersebut digunakan untuk
menalarnya.
Seperti halnya seorang anak kecil
yang terkagum-kagum dan tidak mampu untuk menstrukturceritakan kembali mengenai
balon terbang; atau ketika seorang anak kecil tercengangkan karena melihat game di komputer yang mampu berinteraksi
aktif dengannya. Parameter untuk menjelaskan balon terbang dan game komputer tersebut tidak mampu
dipetakan atau distrukturceritakan kembali oleh akal si anak kecil, sehingga
balon terbang dan game komputer
menjadi hal yang – benar-benar sangat – tidak ternalarkan oleh si anak kecil.
Berbeda sekali dengan ketika si anak kecil tersebut telah menjadi dewasa, atau –
apalagi – di waktu ia telah menjadi ahli fisika atau programmer komputer yang ulung; jangankan balon terbang dan game komputer, puluhan fenomena sesawat
ulang-alik luar angkasa dan kerumitan struktur robot berbasis program komputer
tercanggih pun – bahkan – dapat ia buat dalam ‘sekejap mata’. Begitu juga
dengan fenomena syurga, neraka, hari akhir, azab kubur; itu semua ada,
terstruktur, seimbang bahkan begitu mudah dipetakan parameternya; namun bukan
saatnya manusia mampu, ada waktu yang telah ditentukan agar akal dan nalar
manusia terpuaskan rasa laparnya.
Maka, imanlah yang menjadi sebuah
rukun yang harus menjawabnya; maka, imanlah yang mengambil peran untuk
meyakinkannya, ketika nalar dan akal sudah secara maksimal tidak mampu
memetakannya lagi dengan sangat logis semua parameter pembentuk sesuatu
tersebut. Rukun iman itu menjadi pembeda nyata antara orang beriman dan
atheis. Orang beriman, menyuapi hati dan akal dengan keimanan ketika akal sudah
tidak mampu memetakannya; sedangkan orang atheis menampikan semua (bahkan
menampikan sang pencipta), ketika akal tidak mampu menalarnya. Seperti halnya
seorang atheis menjadikan fenomena big
bang sebagai muara asal muasal semua kehidupan, dan menampikkan ALLAH di
belakang layar permulaannya. Karena – memang – bagi orang atheis, tuhan adalah
akal itu sendiri, akal adalah tuhan itu sendiri.
Maka dari itu, orang beriman dan
berakal atau berilmu pengetahuan akan ALLAH angkat kedudukannya beberapa derajat.
Ini pun menjadi sangat logis, selogis seorang ahli fisika dan programmer komputer ulung yang sudah
tidak bermain di ranah nalar akan balon terbang atau game komputer lagi; namun telah beranjak untuk memahami hal-hal
yang lebih besar dan lebih dekat dengan kesempurnaan pemahaman atas jagat raya beserta
isinya ini; yang tentunya akan mengantarkan dia lebih dekat dan lebih memahami
hakikat keberadaan ALLAH. Sehingga – poin yang harus ditekankan disini adalah –
bahwa menggunakan akal secara optimal untuk memahami sesuatu menjadi sangatlah
penting pada akhirnya.
Pola pikir ini pun yang harus
mampu diterapkan pada pola tindak manusia. Sebuah pola tindak yang berdasarkan
logika akal manusia, namun – tetap – dilandasi oleh islam sebagai pola pandang
sempurna yang telah tersampaikan untuk manusia. Dimana penggunaan akal – seoptimal
mungkin – merepresentasikan usaha manusia; sedangkan islam dijadikan peta dan
koridor, agar akal termuarakan pada akhir alir yang benar, agar sepak terjang
akal tidak liar dan dapat dikroscek oleh kebenaran hakiki yang bernama islam.
Dua padanan kata ‘akal’ dan ‘islam’ yang tercermin menjadikan ‘logis islamis’
bermakna sangat ampuh, ampuh untuk menjadi dasar pola tindak manusia, ampuh
menjadi cermin diri gerak gerik manusia; agar manusia menjadi manusia seutuhnya
– yang berusaha untuk – sempurna di hadapan ALLAH. Karena bagaimana pun, akal
adalah titipan ALLAH; begitu juga islam sebagai sebuah kesempurnaan ilmu dan
dasar aturan – pun – telah tersampaikan dengan sempurna. Maka, ‘logis
islamis’lah...
Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar