Minggu, 04 Agustus 2013

Hakikat Hidup dan Berkehidupan


Originally presented in Tausyiah Buka Bersama Pengajian KALAM - Göttingen, 3 August 2013

Bismillah…
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam islam secara menyeluruh. Dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan adalah musuhmu yang nyata” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 208).

Syukur adalah reaksi nyata yang harus dilakukan manusia, atas bergunung kenikmatan yang datang dari ALLAH tanpa henti. Syukur adalah sikap jelas yang harus dilakukan manusia, atas berjuta limpahan barokah yang datang dari ALLAH tanpa henti. Syukur bukan hanya bergulat pada makna terima kasih yang tersampaikan oleh lisan dan teryakini oleh hati saja; namun, syukur haruslah menjadi ejawantah eksplisit melalui sikap, aksi dan prilaku real berkaidah kebenaran dari setiap individu, atas respon segala jenis curahan kasih dan sayangnya ALLAH.

Sebuah contoh yang sempit dapat kita amati; berapa banyak orang yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikkan ke jenjang yang lebih tinggi, berapa banyak orang yang membuncah harapnya karena berkeinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri; namun ketika ALLAH tidak menghendaki itu terjadi, hanya nol besar tanpa kenyataan pada akhirnya. Namun, pada sisi yang lain, ada sebagian kita telah dijadikan dan disampaikan oleh ALLAH untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi (S2 bahkan S3), diterbangkan oleh ALLAH belasan ribu kilometer menuju Jerman, diberi kesempatan olehNYA untuk dapat mengenyam pendidikan pada lingkungan pendidikan yang kondusif dan terstruktur rapi dengan berbagai macam pengalaman positifnya; lantas pertanyaan sederhana muncul, apa sikap kita atas nikmat ALLAH yang berlimpah tersebut? Apa sikap kita untuk lebih bersyukur atas karuniaNYA yang sangat agung tersebut? Kalau sikap syukur atas nikmat ALLAH tersebut hanyalah terucap lisan dan teryakini hati saja; tidaklah usah kita mengenyam pendidikan lebih tinggi. Kalau sikap syukur atas nikmat ALLAH tersebut hanya terucap lisan dan teryakini hati saja; ya tidak usah jauh-jauh kita diterbangkan oleh ALLAH ke Jerman ini. Intinya, pastilah ada tuntutan lebih dari ALLAH atas skenarioNYA menjalankan para kandidat master dan doktor ini terbang ke negara dream land Jerman ini, sejauh lebih dari enam belas ribu kilometer dari negara kita tercinta, Indonesia.

Solawat beserta salam, semoga terus tercurah pada junjungan bumi dan langit; nabi besar Muhammad SAW. Seorang manusia pilihan ALLAH. Rasul adalah manusia yang merupakan pilihan ALLAH. Manusia, karena dijadikannya sebagai tauladan bagi manusia lain. Manusia, karena agar manusia lain dapat mengikutinya dengan sangat dekat. Sehingga hanya akan ada dua konsekwensi logis bagi umat manusia lain atas pemilihan manusia (Rasul) oleh ALLAH sebagai uswah; jika kita mengaku diri ini adalah manusia, maka ikutilah Rasul (manusia juga) pada setiap tingkah dan geraknya; atau, jika kita tidak mau mengikuti manusia pilihan ALLAH tersebut (Rasul), ya jangan sekali-sekali kita mengaku-ngaku menjadi manusia.

Rasul adalah manusia pilihan yang sangat tahu percis memposisikan Al-Qur’an sebagai cahaya yang membawa alam gelap menuju terang benderang (Q.S. Al-Baqarah[2]: 1). Ibarat matahari (cahaya), matahari akan menerangi alam semesta, ketika dia berada di atas; karena ketika matahari berada di bawah (di bagian bumi lain), alam semesta gelap pada akhirnya. Rasul tahu percis hakikat ini semua, makannya Rasul meletakkan Al-Qur’an di atas segala urusan manusia; dengan sunnahnya sebagai implementasi atas segala yang tersurat dan tersirat pada Al-Qur’an. Rasul pun paham benar, bahwa cahaya (Al-Qur’an) dengan spektrumnya mampu membuat semua objek di area sinarnya menjadi nampak jelas perbedaan dan warnanya; sebuah objek menjadi nampak berwarna tertentu, karena objek tersebut hanyalah mampu memantulkan jenis warna cahaya dengan panjang gelombang yang sama dengan partikel dan molekul penyusun objek tersebut. Maka, sangat teryakinkan, bahwa Al-Qur’an sebagai pembeda (Al-Furqon) – antara yang haq dan bathil – memang telah diskenariokan dengan sangat logis dan penuh kandungan ilmu oleh penciptannya, ALLAH Azza wa Jalla.

Masuk ke dalam inti tema kali ini. Tujuan merupakan sebuah keniscayaan adalah benar adanya; namun tujuan dijadikan orientasi hidup menjadi salah adanya. Tujuan menjadi sebuah statemen yang telah digariskanNYA adalah mahfum adanya; namun tujuan dijadikan sebuah orientasi berkehidupan adalah salah kaprah. Sebuah statemen yang menyatakan bahwa ‘kesuksesan adalah hak setiap orang’ menjadi sangat tidak logis dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa, sebuah kesuksesan sebagai hak prerogatif ALLAH diakuisisi menjadi haknya manusia? Atau sebuah statemen yang menyatakan bahwa ‘kaya adalah hak setiap orang’ menjadi lebih gila; sepertinya manusia telah bisa menentukan status kaya dan miskin dirinya sendiri. Bahwa sukses atau gagal, sehat atau sakit, kaya atau miskin adalah menjadi sebuah status dan keniscayaan adalah sangat logis; namun jika hal-hal tersebut menjadi sebuah orientasi jelas merupakan hal yang sangat tidak masuk akal. Maka, untuk urusan dimana ALLAH berperan mutlak, domain keimanan menjadi landasannya. Biarkan saja, bahwa di ranah gaib ini, keimanan menjadi basis pijakannya. Yakini saja bahwa sehat, sakit, kaya, miskin, sukses, gagal, bahkan hidup dan mati, termasuk surga dan neraka; semua adalah hak prerogatif ALLAH dan kita mengimaninya sepenuh jiwa; iman yang terucap lisan, teryakini hati dan teraplikasikan pada kesehariannya.

Lantas adakah peran manusia? Jelas ada. Secara hakikat, berkehidupannya manusia di muka bumi adalah menjalankan peran yang telah terpilihkan oleh ALLAH, tanpa kita bisa membantah atau menyangkalnya. Menjadi orang tua sekaligus menjadi anak, menjadi sahabat, menjadi istri atau suami, menjadi tetangga, menjadi pendidik, menjadi pegawai atau business man, menjadi… menjadi…; merupakan peran-peran yang telah terpilihkan ALLAH dalam satu waktu yang bersamaan yang – mau tidak mau – harus kita jalankan. Boleh saja kita bermimpi menjadi seorang Bapak, namun ketika peran itu belumlah ALLAH pilihkan buat kita, apa pun kondisinya tidak akan pernah terwujud. Bolehlah kita berkhayal menjadi seorang kaya, namun ketika ALLAH tidak memilihkan peran itu buat kita, sampai kapan pun tidak akan pernah terlaksana. Jadi esensinya, kita berkehidupan hanyalah sedang menjalankan peran yang telah terpilihkan oleh ALLAH. Inilah hakikat domain keislaman. Sebuah domain, dimana manusia diberi keleluasaan oleh ALLAH untuk menentukan dan memilih – dengan ditopang oleh akal yang telah ALLAH ilhamkan – untuk menjalankan mana yang terbaik dan terbenar. Inilah hakikat berkehidupan, inilah hakikak berislam, inilah hakikat bersyariat; hakikat dimana kita harus pandai-pandai mengejawantahkan, mengimplementasikan dan mengaplikasikan pada berkehidupan nyata setiap rukun islam yang telah tergorekan atas setiap muslim.

Alhamdulillah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar