Created by Ditdit Nugeraha Utama
Bismillah…
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian ke dalam islam secara menyeluruh. Dan janganlah mengikuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan adalah musuhmu yang nyata” (Q.S.
Al-Baqarah[2]: 208).
Syukur adalah reaksi nyata yang
harus dilakukan manusia, atas bergunung kenikmatan yang datang dari ALLAH tanpa
henti. Syukur adalah sikap jelas yang harus dilakukan manusia, atas berjuta
limpahan barokah yang datang dari ALLAH tanpa henti. Syukur bukan hanya
bergulat pada makna terima kasih yang tersampaikan oleh lisan dan teryakini
oleh hati saja; namun, syukur haruslah menjadi ejawantah eksplisit melalui
sikap, aksi dan prilaku real berkaidah kebenaran dari setiap individu, atas
respon segala jenis curahan kasih dan sayangnya ALLAH.
Sebuah contoh yang sempit dapat kita
amati; berapa banyak orang yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikkan ke
jenjang yang lebih tinggi, berapa banyak orang yang membuncah harapnya karena berkeinginan
untuk melanjutkan studi ke luar negeri; namun ketika ALLAH tidak menghendaki
itu terjadi, hanya nol besar tanpa kenyataan pada akhirnya. Namun, pada sisi
yang lain, ada sebagian kita telah dijadikan dan disampaikan oleh ALLAH untuk mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi (S2 bahkan S3), diterbangkan oleh ALLAH belasan
ribu kilometer menuju Jerman, diberi kesempatan olehNYA untuk dapat mengenyam
pendidikan pada lingkungan pendidikan yang kondusif dan terstruktur rapi dengan
berbagai macam pengalaman positifnya; lantas pertanyaan sederhana muncul, apa
sikap kita atas nikmat ALLAH yang berlimpah tersebut? Apa sikap kita untuk
lebih bersyukur atas karuniaNYA yang sangat agung tersebut? Kalau sikap syukur
atas nikmat ALLAH tersebut hanyalah terucap lisan dan teryakini hati saja;
tidaklah usah kita mengenyam pendidikan lebih tinggi. Kalau sikap syukur atas
nikmat ALLAH tersebut hanya terucap lisan dan teryakini hati saja; ya tidak
usah jauh-jauh kita diterbangkan oleh ALLAH ke Jerman ini. Intinya, pastilah
ada tuntutan lebih dari ALLAH atas skenarioNYA menjalankan para kandidat master
dan doktor ini terbang ke negara dream land Jerman ini, sejauh lebih dari enam belas
ribu kilometer dari negara kita tercinta, Indonesia.
Solawat beserta salam, semoga
terus tercurah pada junjungan bumi dan langit; nabi besar Muhammad SAW. Seorang
manusia pilihan ALLAH. Rasul adalah manusia yang merupakan pilihan ALLAH.
Manusia, karena dijadikannya sebagai tauladan bagi manusia lain. Manusia,
karena agar manusia lain dapat mengikutinya dengan sangat dekat. Sehingga hanya
akan ada dua konsekwensi logis bagi umat manusia lain atas pemilihan manusia
(Rasul) oleh ALLAH sebagai uswah; jika kita mengaku diri ini adalah manusia,
maka ikutilah Rasul (manusia juga) pada setiap tingkah dan geraknya; atau, jika
kita tidak mau mengikuti manusia pilihan ALLAH tersebut (Rasul), ya jangan
sekali-sekali kita mengaku-ngaku menjadi manusia.
Rasul adalah manusia pilihan yang
sangat tahu percis memposisikan Al-Qur’an sebagai cahaya yang membawa alam
gelap menuju terang benderang (Q.S. Al-Baqarah[2]: 1). Ibarat matahari
(cahaya), matahari akan menerangi alam semesta, ketika dia berada di atas;
karena ketika matahari berada di bawah (di bagian bumi lain), alam semesta
gelap pada akhirnya. Rasul tahu percis hakikat ini semua, makannya Rasul
meletakkan Al-Qur’an di atas segala urusan manusia; dengan sunnahnya sebagai
implementasi atas segala yang tersurat dan tersirat pada Al-Qur’an. Rasul pun
paham benar, bahwa cahaya (Al-Qur’an) dengan spektrumnya mampu membuat semua
objek di area sinarnya menjadi nampak jelas perbedaan dan warnanya; sebuah
objek menjadi nampak berwarna tertentu, karena objek tersebut hanyalah mampu
memantulkan jenis warna cahaya dengan panjang gelombang yang sama dengan
partikel dan molekul penyusun objek tersebut. Maka, sangat teryakinkan, bahwa
Al-Qur’an sebagai pembeda (Al-Furqon) – antara yang haq dan bathil – memang telah
diskenariokan dengan sangat logis dan penuh kandungan ilmu oleh penciptannya,
ALLAH Azza wa Jalla.
Masuk ke
dalam inti tema kali ini. Tujuan merupakan sebuah keniscayaan adalah benar
adanya; namun tujuan dijadikan orientasi hidup menjadi salah adanya. Tujuan
menjadi sebuah statemen yang telah digariskanNYA adalah mahfum adanya; namun
tujuan dijadikan sebuah orientasi berkehidupan adalah salah kaprah. Sebuah
statemen yang menyatakan bahwa ‘kesuksesan adalah hak setiap orang’ menjadi
sangat tidak logis dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa, sebuah kesuksesan
sebagai hak prerogatif ALLAH diakuisisi menjadi haknya manusia? Atau sebuah
statemen yang menyatakan bahwa ‘kaya adalah hak setiap orang’ menjadi lebih
gila; sepertinya manusia telah bisa menentukan status kaya dan miskin dirinya
sendiri. Bahwa sukses atau gagal, sehat atau sakit, kaya atau miskin adalah
menjadi sebuah status dan keniscayaan adalah sangat logis; namun jika hal-hal
tersebut menjadi sebuah orientasi jelas merupakan hal yang sangat tidak masuk
akal. Maka, untuk urusan dimana ALLAH berperan mutlak, domain keimanan menjadi
landasannya. Biarkan saja, bahwa di ranah gaib ini, keimanan menjadi basis
pijakannya. Yakini saja bahwa sehat, sakit, kaya,
miskin, sukses, gagal, bahkan hidup dan mati, termasuk surga dan neraka; semua
adalah hak prerogatif ALLAH dan kita mengimaninya sepenuh jiwa; iman yang
terucap lisan, teryakini hati dan teraplikasikan pada kesehariannya.
Lantas adakah peran manusia?
Jelas ada. Secara hakikat, berkehidupannya manusia di muka bumi adalah
menjalankan peran yang telah terpilihkan oleh ALLAH, tanpa kita bisa membantah
atau menyangkalnya. Menjadi orang tua sekaligus menjadi anak, menjadi sahabat,
menjadi istri atau suami, menjadi tetangga, menjadi pendidik, menjadi pegawai
atau business man, menjadi… menjadi…; merupakan peran-peran yang telah
terpilihkan ALLAH dalam satu waktu yang bersamaan yang – mau tidak mau – harus
kita jalankan. Boleh saja kita bermimpi menjadi seorang Bapak, namun ketika
peran itu belumlah ALLAH pilihkan buat kita, apa pun kondisinya tidak akan
pernah terwujud. Bolehlah kita berkhayal menjadi seorang kaya, namun ketika
ALLAH tidak memilihkan peran itu buat kita, sampai kapan pun tidak akan pernah
terlaksana. Jadi esensinya, kita berkehidupan hanyalah sedang menjalankan peran
yang telah terpilihkan oleh ALLAH. Inilah hakikat domain keislaman. Sebuah
domain, dimana manusia diberi keleluasaan oleh ALLAH untuk menentukan dan
memilih – dengan ditopang oleh akal yang telah ALLAH ilhamkan – untuk
menjalankan mana yang terbaik dan terbenar. Inilah hakikat berkehidupan, inilah
hakikak berislam, inilah hakikat bersyariat; hakikat dimana kita harus pandai-pandai
mengejawantahkan, mengimplementasikan dan mengaplikasikan pada berkehidupan
nyata setiap rukun islam yang telah tergorekan atas setiap muslim.
Alhamdulillah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar