Selasa, 25 Juni 2013

Keteladanan, Sebagai Inti Sistem Pendidikan

@Göttingen, Germany

Bismillah...
"Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat ALLAH" (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21) 

Manusia Indonesia seutuhnya adalah cita-cita luhur produk sistem pendidikan bangsa ini. Manusia Indonesia seutuhnya adalah harapan tinggi output sistem pendidikan negara ini. Sebuah mimpi ideal dan dambaan besar atas sebuah konfigurasi kualitas generasi bangsa Indonesia. Serta, tentu, dengan terus berharap tanpa henti, bahwa dengan kualitas manusia-manusia Indonesia yang mumpuni tersebut, bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan dikagumi – kembali. Sebuah kondisi yang memang pernah ada dan terjadi di negeri ini.

Lebih dari separuh abad, bangsa ini terlepas dari rongrongan bangsa lain. Kemerdekaan itu telah secara mutlak dimiliki bangsa yang kaya raya ini. Kedaulatan itu telah ada di genggaman setiap manusia Indonesia. Namun, mengapa mimpi besar yang digadang-gadang tersebut tidak pernah kunjung tercapai? Namun, mengapa cita-cita luhur tersebut tidak pernah mendekat? Dambaan itu terasa semakin berjarak dan terus berjarak setiap waktunya. Bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar dan cita-cita luhur tersebut. Sebuah mimpi dimana akan tercipta sebuah generasi yang cerdas otak dan hatinya, yang sehat jasmani dan rohaninya; sebuah cita-cita dimana akan tercipta sebuah generasi yang seimbang antara pengetahuan dan prilakunya, serta berkarakter kuat yang mampu menegakkan nilai-nilai keindonesiaan yang pernah menjadi kebanggaan bangsa ini.

Jelas sekali dan tidak bisa dipungkiri, yang ada hanyalah keberangusan moral sampai di titik terendah; yang ada hanya degradasi karakter bangsa sampai akal ini pun sulit untuk membayangkan dan bibir ini pun sulit untuk berujar. Kebersamaan hanya digunakan sebagai kekuatan untuk menghantam pihak lain dalam ‘lingkaran setan tawuran‘. Pencurian menjadi sebuah prilaku menyimpang yang telah disepakati bersama untuk boleh dilakukan secara berjamaah. Ekspresi anarkis telah menjadi hobi yang telah memperbesar semangat premanisme di setiap level tatanan bangsa. Dan, masih ada puluhan kalimat – sarkasme yang cenderung sinis – lainnya, yang mampu dengan mudah menggambarkan betapa hancurnya produk sistem pendidikan bangsa Indonesia ini. Sekali lagi, bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.

Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, dan terima kasih yang teramat sangat tinggi kepada para pendidik; namun memang harus kita akui bahwa pendidikan Indonesia, dalam sebuah kerangkan sistem, telah gagal. Hantaman negatif terhadap hidup dan berkehidupan para anak didik bangsa ini di luar sana, jauh lebih besar dan sangat massive, jika dibandingkan dengan usaha positif yang telah dilakukan secara sistemik. Sehingga, ini harus menjadi tanggung jawab bangsa ini secara menyeluruh. Ini harus menjadi gelayut kekhawatiran dari bangsa ini sebagai sebuah sistem.

Tidak dipungkiri pula, prestasi hanya dihasilkan oleh sekelompok kecil individu, sekelompok kecil guru, sekelompok kecil sekolah; yang – berkesan – secara kebetulan mereka bertemu dan akhirnya berprestasi. Prestasi bukan sebuah budaya, kebiasaan, dan ciri khas bangsa. Prestasi bukan produk rutin sistem pendidikan Indonesia. Prestasi bukan sebagai sebuah hasil terukur, karena menjalankan sistem pendidikan yang benar. Bahkan prestasi-prestasi tersebut cenderung redup; karena satu dua cerita prestasi itu muncul dan akhirnya terkubur di antara seratus dan dua ratus tumpukkan berita prestasi buruk bangsa ini. Atau memang, prestasi hebat itu pun mungkin tanpa tindak lanjut yang terstruktur dan – lagi-lagi – tidak sistemik. Sekali lagi, bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.

Keteladanan. Itu yang hilang dari sistem pendidikan di negeri ini. Keteladanan adalah esensi pendidikan dan sifat yang harus melekat pada setiap individu pendidik. Keteladanan adalah sebuah jargon yang akan dengan mudah tertangkap otak ini melalui mata, dan akan mengendap puluhan tahun di alam bawah sadar pada setiap otak manusia. Keteladanan adalah aktivitas nyata tanpa banyak kata sebagai metode penyampaiannya. Keteladanan adalah mutlak ada, bukan hanya buah ucap semata.

Bangsa ini sedang membutuhkan satu level generasi yang disebut sebagai generasi pendidik, yang mampu mendeliver keteladanan sebagai bingkai utamanya. Satu generasi, dimana dengan ikhlas menjadikan diri dan lingkungannya sebagai pendidik, yang berani memberikan contoh keteladanan baik, sebagai tingkah pola hariannya. Gamang pasti, ketika seorang siswa sekolah dasar mendapatkan sebuah ilmu nan indah dari gurunya di sekolah, bahwa rokok akan merusak kesehatan; namun di sisi lain, di setiap menit dan detik hidupnya, dia selalu dihujam gambaran keteladanan buruk atas gurunya yang merokok, orang-orang sekitar yang merokok, dan orang tuanya yang perokok. Bingung pasti, ketika seorang siswa sekolah dasar mendapatkan sebuah ilmu nan agung dari gurunya di sekolah, bahwa membuang sampah pada tempatnya adalah prilaku baik; namun di sisi lain, di setiap menit dan detik hidupnya, otaknya selalu tercuci dengan gambaran keteladanan yang buruk atas orang-orang yang membuang sampah sembarangan dan lingkungan yang kotor. Menjadi pragmatis dan oportunis pasti nantinya, ketika seorang siswa sekolah dasar mendapatkan sebuah ilmu nan penting dari gurunya di sekolah, bahwa mencuri itu berdosa besar; namun di sisi lain, di setiap menit dan detik hidupnya, alam bawah sadarnya selalu diukir dengan gambaran keteladanan yang buruk atas orang tua, pemimpin bangsa, dan masyarakat yang korupsi atas uang, waktu, dan hak milik orang lain.

Bohong besar bahwa prilaku buruk lantas tidak membekas pada otak anak-anak didik kita. Bohong besar bahwa keteladanan buruk lantas tidak terpatri nyata pada otak besar anak-anak didik bangsa ini. Bohong besar bahwa budaya buruk lantas tidak mencuci otak alam bawah sadar anak-anak didik negara ini. Maka, tidak salah bahwa memang bangsa ini sedang dijauhkan dari cita-cita besar sistem pendidikannya. Tidak salah memang, bahwa sistem pendidikan ini terus menghasilkan para lulusan yang siap memperkeruh tatanan berkehidupan bangsa ini. Itu semua berjalan tanpa kita sadari, karena semua itu – pun – telah menjadi kebiasaan dan terukir nyata pada alam bawah sadar otak bangsa ini. Bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.

Maka. Tidak ada jalan lain. Harus ada satu level generasi di bangsa ini yang ikhlas menjadi sebuah generasi pendidik. Generasi yang selalu memberikan keteladan baik untuk terus ditanamkan di alam bawah sadar setiap otak manusia Indonesia. Karena, pada hakikatnya, keteladanan adalah esensi pendidikan itu sendiri; dan pada hakikatnya pula, bahwa kita semua adalah pendidik bagi generasi berikutnya. Bukan tidak penting penegakkan dan supermasi hukum. Bukan tidak dibutuhkan sebuah sistem ekonomi yang adil dan pro rakyat. Bukan juga tidak menjadi perhatian bahwa sistem politik yang jujur harus berdiri tegak. Namun, setiap elemen bangsa ini sebenarnya – tanpa perlu modal apa pun – mampu untuk menjadi seorang pendidik; seorang pendidik yang mampu menyebarkan virus keteladanan yang baik di diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan dimana pun ia berada. Semoga, setiap kita mampu menjadi agen keteladanan yang baik tersebut. 

Bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut. Dengan mau dan berani untuk jujur, kita akan dapat melihat secara objektif posisi perjuangan sistem pendidikan bangsa ini. Dengan mau dan berani untuk jujur, berarti kita telah melakukan introspeksi diri, untuk kemudian dapat menutupi dan memperbaiki kekurangan yang ada. Tanpa mau dan berani untuk jujur, jangan harap cita-cita besar itu akan datang dan mendekat. Semoga, setiap kita ikhlas untuk mendaftarkan diri menjadi generasi pendidik; untuk sebuah mimpi dan harapan besar produk sistem pendidikan bangsa ini, Manusia Indonesia seutuhnya.

Alhamdulillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar