Created by Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen, Germany
Bismillah...
"Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat ALLAH" (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21)
Manusia Indonesia seutuhnya adalah cita-cita luhur
produk sistem pendidikan bangsa ini. Manusia Indonesia seutuhnya adalah harapan
tinggi output sistem pendidikan
negara ini. Sebuah mimpi ideal dan dambaan besar atas sebuah konfigurasi kualitas
generasi bangsa Indonesia. Serta, tentu, dengan terus berharap tanpa henti,
bahwa dengan kualitas manusia-manusia Indonesia yang mumpuni tersebut, bangsa
ini menjadi bangsa yang besar dan dikagumi – kembali. Sebuah kondisi yang memang pernah ada dan terjadi di negeri ini.
Lebih dari separuh abad, bangsa ini terlepas dari
rongrongan bangsa lain. Kemerdekaan itu telah secara mutlak dimiliki bangsa yang
kaya raya ini. Kedaulatan itu telah ada di genggaman setiap manusia Indonesia. Namun,
mengapa mimpi besar yang digadang-gadang tersebut tidak pernah kunjung
tercapai? Namun, mengapa cita-cita luhur tersebut tidak pernah mendekat? Dambaan
itu terasa semakin berjarak dan terus berjarak setiap waktunya. Bukan harus
menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita
memang sedang terjauhkan dari mimpi besar dan cita-cita luhur tersebut. Sebuah
mimpi dimana akan tercipta sebuah generasi yang cerdas otak dan hatinya, yang
sehat jasmani dan rohaninya; sebuah cita-cita dimana akan tercipta sebuah
generasi yang seimbang antara pengetahuan dan prilakunya, serta berkarakter
kuat yang mampu menegakkan nilai-nilai keindonesiaan yang pernah menjadi
kebanggaan bangsa ini.
Jelas sekali dan tidak bisa dipungkiri, yang ada hanyalah
keberangusan moral sampai di titik terendah; yang ada hanya degradasi karakter
bangsa sampai akal ini pun sulit untuk membayangkan dan bibir ini pun sulit
untuk berujar. Kebersamaan hanya digunakan sebagai kekuatan untuk menghantam
pihak lain dalam ‘lingkaran setan tawuran‘. Pencurian menjadi sebuah prilaku
menyimpang yang telah disepakati bersama untuk boleh dilakukan secara
berjamaah. Ekspresi anarkis telah menjadi hobi yang telah memperbesar semangat
premanisme di setiap level tatanan bangsa. Dan, masih ada puluhan kalimat –
sarkasme yang cenderung sinis – lainnya, yang mampu dengan mudah menggambarkan
betapa hancurnya produk sistem pendidikan bangsa Indonesia ini. Sekali lagi,
bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur,
bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.
Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, dan terima
kasih yang teramat sangat tinggi kepada para pendidik; namun memang harus kita
akui bahwa pendidikan Indonesia, dalam sebuah kerangkan sistem, telah gagal. Hantaman
negatif terhadap hidup dan berkehidupan para anak didik bangsa ini di luar
sana, jauh lebih besar dan sangat massive, jika dibandingkan dengan usaha
positif yang telah dilakukan secara sistemik. Sehingga, ini harus menjadi
tanggung jawab bangsa ini secara menyeluruh. Ini harus menjadi gelayut kekhawatiran
dari bangsa ini sebagai sebuah sistem.
Tidak dipungkiri pula, prestasi hanya dihasilkan oleh
sekelompok kecil individu, sekelompok kecil guru, sekelompok kecil sekolah;
yang – berkesan – secara kebetulan mereka bertemu dan akhirnya berprestasi.
Prestasi bukan sebuah budaya, kebiasaan, dan ciri khas bangsa. Prestasi bukan
produk rutin sistem pendidikan Indonesia. Prestasi bukan sebagai sebuah hasil
terukur, karena menjalankan sistem pendidikan yang benar. Bahkan prestasi-prestasi
tersebut cenderung redup; karena satu dua cerita prestasi itu muncul dan
akhirnya terkubur di antara seratus dan dua ratus tumpukkan berita prestasi
buruk bangsa ini. Atau memang, prestasi hebat itu pun mungkin tanpa tindak
lanjut yang terstruktur dan – lagi-lagi – tidak sistemik. Sekali lagi, bukan
harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa
kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.
Keteladanan. Itu yang hilang dari sistem pendidikan di negeri
ini. Keteladanan adalah esensi pendidikan dan sifat yang harus melekat pada
setiap individu pendidik. Keteladanan adalah sebuah jargon yang akan dengan
mudah tertangkap otak ini melalui mata, dan akan mengendap puluhan tahun di
alam bawah sadar pada setiap otak manusia. Keteladanan adalah aktivitas nyata
tanpa banyak kata sebagai metode penyampaiannya. Keteladanan adalah mutlak ada,
bukan hanya buah ucap semata.
Bangsa ini sedang membutuhkan satu level generasi yang
disebut sebagai generasi pendidik, yang mampu mendeliver keteladanan sebagai bingkai
utamanya. Satu generasi, dimana dengan ikhlas menjadikan diri dan lingkungannya
sebagai pendidik, yang berani memberikan contoh keteladanan baik, sebagai
tingkah pola hariannya. Gamang pasti, ketika seorang siswa sekolah dasar mendapatkan
sebuah ilmu nan indah dari gurunya di sekolah, bahwa rokok akan merusak
kesehatan; namun di sisi lain, di setiap menit dan detik hidupnya, dia selalu
dihujam gambaran keteladanan buruk atas gurunya yang merokok, orang-orang sekitar
yang merokok, dan orang tuanya yang perokok. Bingung pasti, ketika seorang
siswa sekolah dasar mendapatkan sebuah ilmu nan agung dari gurunya di sekolah,
bahwa membuang sampah pada tempatnya adalah prilaku baik; namun di sisi lain, di
setiap menit dan detik hidupnya, otaknya selalu tercuci dengan gambaran
keteladanan yang buruk atas orang-orang yang membuang sampah sembarangan dan
lingkungan yang kotor. Menjadi pragmatis dan oportunis pasti nantinya, ketika
seorang siswa sekolah dasar mendapatkan sebuah ilmu nan penting dari gurunya di
sekolah, bahwa mencuri itu berdosa besar; namun di sisi lain, di setiap menit
dan detik hidupnya, alam bawah sadarnya selalu diukir dengan gambaran
keteladanan yang buruk atas orang tua, pemimpin bangsa, dan masyarakat yang korupsi
atas uang, waktu, dan hak milik orang lain.
Bohong besar bahwa prilaku buruk lantas tidak membekas
pada otak anak-anak didik kita. Bohong besar bahwa keteladanan buruk lantas
tidak terpatri nyata pada otak besar anak-anak didik bangsa ini. Bohong besar
bahwa budaya buruk lantas tidak mencuci otak alam bawah sadar anak-anak didik
negara ini. Maka, tidak salah bahwa memang bangsa ini sedang dijauhkan dari
cita-cita besar sistem pendidikannya. Tidak salah memang, bahwa sistem
pendidikan ini terus menghasilkan para lulusan yang siap memperkeruh tatanan
berkehidupan bangsa ini. Itu semua berjalan tanpa kita sadari, karena semua itu
– pun – telah menjadi kebiasaan dan terukir nyata pada alam bawah sadar otak
bangsa ini. Bukan harus menjadi pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk
jujur, bahwa kita memang sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut.
Maka. Tidak ada jalan lain. Harus ada satu level
generasi di bangsa ini yang ikhlas menjadi sebuah generasi pendidik. Generasi
yang selalu memberikan keteladan baik untuk terus ditanamkan di alam bawah
sadar setiap otak manusia Indonesia. Karena, pada hakikatnya, keteladanan
adalah esensi pendidikan itu sendiri; dan pada hakikatnya pula, bahwa kita
semua adalah pendidik bagi generasi berikutnya. Bukan tidak penting penegakkan
dan supermasi hukum. Bukan tidak dibutuhkan sebuah sistem ekonomi yang adil dan
pro rakyat. Bukan juga tidak menjadi perhatian bahwa sistem politik yang jujur
harus berdiri tegak. Namun, setiap elemen bangsa ini sebenarnya – tanpa perlu
modal apa pun – mampu untuk menjadi seorang pendidik; seorang pendidik yang
mampu menyebarkan virus keteladanan yang baik di diri sendiri, keluarga,
lingkungan, dan dimana pun ia berada. Semoga, setiap kita mampu menjadi agen
keteladanan yang baik tersebut.
Bukan harus menjadi
pesimis, hanya saja kita harus mau dan berani untuk jujur, bahwa kita memang
sedang terjauhkan dari mimpi besar tersebut. Dengan mau dan berani
untuk jujur, kita akan dapat melihat secara objektif posisi perjuangan sistem
pendidikan bangsa ini. Dengan mau dan berani untuk jujur, berarti kita telah
melakukan introspeksi diri, untuk kemudian dapat menutupi dan memperbaiki
kekurangan yang ada. Tanpa mau dan berani untuk jujur, jangan harap cita-cita
besar itu akan datang dan mendekat. Semoga, setiap kita ikhlas untuk
mendaftarkan diri menjadi generasi pendidik; untuk sebuah mimpi dan harapan
besar produk sistem pendidikan bangsa ini, Manusia Indonesia seutuhnya.
Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar